Teladan Pertama : Presiden Menolak Untuk Digaji
FERNANDO LUGO MENDEZ bukan konglomerat atau politisi bergelimang harta. Mantan uskup ini hanya pekerja sosial yang kere. Tapi sungguh tak disangka, penganut sosialisme yang mendalami ajaran Pancasila ini malah menolak mendapat gaji selaku Presiden Paraguay, yang diumumkannya pada malam sebelum pelantikannya. Keputusan Lugo ini adalah keajaiban terbesar di dunia politik, sepanjang sejarah demokrasi di jagat raya ini. Sendirian dia melawan arus besar yang berlaku di semua negara, termasuk di AS, di mana jabatan presiden memberikan privilese serta kesempatan memperkaya diri dan kelompok.
Ini sebuha fakta terbalik yang terjadi di Indonesia. Para pemimpin Indonesia berlomba-lomba memperkaya diri dan melupakan rakyat yang dipimpinnya. Hanya sebagai perbandingan saja, saya ungkap berapa besar gaji Presiden Paraguay jika dia menerimanya.
Teladan Kedua : Perdana Menteri Jepang Mengundurkan Diri Karena Tsunami Jepang
Ini tidak kalah mencengangkan. Seorang Perdana Menteri dengan suka relah lengser dari Jabatannya hanya kerana terjadi bencana dahsyat di Jepang yaitu Tsunami Jepang yang terjadi Maret 2011 lalu.
Teladan Ketiga : Presiden Perusahaan Kereta Api Hokkaido di Jepang Bunuh Diri karena terjadi kecelakaan kereta api (Peringatan : Jangan bunuh dirinya yang dicontoh) Sebenarnya kecelakaan kereta tersebut bukanlah kecelakaan besar (major accident). Para korban juga tidak mengalami luka serius. Tragedi itu berawal saat kereta api JR Sekisho Line dari Hokkaido Railway Co. (JR Hokkaido) yang salah satu gerbongnya keluar dari rel di wilayah Shimukappumura, bagian utara Jepang. Keretapun melakukan penghentian darurat di dalam terowongan Daiichi Niniu. Saat berhenti, asap tebal muncul menutupi terowongan dan gerbong.
Sangat aneh jika dibandingkan dengan para pemimpin Indonesia. Yang selalu diguncang dengan berbagai bencana serta kecelakaan tapi penangannya selalu mendapat raport merah, tapi tetap dengan PD duduk di kursi kepemimpinannya.
Teladan Keempat : Mengundurkan Diri Karena Mati Lampu
Menteri di Korea Selatan yang bertanggung jawab atas layanan energi, Choi Joong-kyung, hari ini mengajukan pengunduran diri kepada Presiden Lee Myung-bak. Pasalnya, Choi merasa malu atas kasus mati lampu massal yang sempat meresahkan sebagian rakyat di negeri ginseng itu.
Menurut harian The Wall Street Journal, pengunduran diri itu diungkapkan juru bicara kementerian ekonomi pengetahuan, Park Chung-won. Seorang pejabat di istana kepresidenan menyatakan bahwa Presiden Lee kemungkinan menerima pengunduran diri Choi sebagai Menteri Ekonomi Pengetahuan, yang salah satu tugasnya mengurus masalah listrik.
"Menteri Choi mengajukan pengunduran diri hari ini dan berencana menyerahkan surat mundur secara resmi kepada kepala staf kepresidenan hari ini juga," kata Park, seperti dikutip kantor berita Yonhap.
Pengunduran diri itu dilontarkan Choi setelah Korsel mengalami pemadaman listrik pada 15 September lalu. Ini merupakan peristiwa yang tidak biasa di Korsel, yang selama ini menyediakan layanan listrik yang memuaskan. Ketika padam, saat itu banyak rumah, kantor, dan pabrik gelap gulita.
Pelaku industri menderita gangguan produksi. Banyak orang terjebak di elevator. Lalu-lintas pun kacau karena lampu merah padam. Tidak ada laporan cedera akibat listrik byar pet itu.
Padamnya aliran listrik mempengaruhi lebih dari dua juta rumah tangga selama kurun antara satu hingga lima jam. Pihak berwenang sempat menyatakan pemadaman terjadi akibat cuaca panas sehingga kebutuhan akan listrik melonjak. Namun besarnya kebutuhan itu tidak dapat dipenuhi oleh 25 pembangkit listrik karena pada saat yang bersamaan mengalami perawatan.
Presiden Lee akhirnya menggelar rapat khusus dengan pihak terkait untuk membahas padamnya listrik di Korsel dan mereka segera melakukan investigasi. Sebagai pertanggungjawaban, pemerintah menerima gugatan ganti rugi dari individu maupun pengusaha.
Menurut The Korea Herald, rakyat yang merasa dirugikan bisa mengajukan klaim ganti rugi hingga Selasa pekan depan. Hingga awal pekan ini, pemerintah sudah menerima lebih dari 3.000 klaim dengan nilai total tuntutan sebesar 17 miliar won, atau sekitar Rp129,4 miliar.
Teladan Kedua : Perdana Menteri Jepang Mengundurkan Diri Karena Tsunami Jepang
Ini tidak kalah mencengangkan. Seorang Perdana Menteri dengan suka relah lengser dari Jabatannya hanya kerana terjadi bencana dahsyat di Jepang yaitu Tsunami Jepang yang terjadi Maret 2011 lalu.
Teladan Ketiga : Presiden Perusahaan Kereta Api Hokkaido di Jepang Bunuh Diri karena terjadi kecelakaan kereta api (Peringatan : Jangan bunuh dirinya yang dicontoh)
Presiden Perusahaan Kereta Api Hokkaido di Jepang, Naotoshi Nakajima (64), memilih untuk mengakhiri hidupnya. Ia merasa bersalah atas terjadinya kecelakaan kereta api di Hokkaido, pada bulan Mei 2011 lalu. Kecelakaan tersebut mengakibatkan 35 orang luka-luka, meski tidak ada korban jiwa.
Nakajima meninggalkan surat bunuh diri dan kemudian menghilang. Mayat Nakajima baru ditemukan enam hari kemudian (18/9) di perairan Otaru, Hokkaido. Nampaknya Nakajima memilih bunuh diri dengan menceburkan diri ke laut.
Sebagai presiden perusahaan kereta api, Nakajima merasa bertanggung jawab atas keselamatan seluruh penumpang kereta. Sejak kecelakaan tersebut, Nakajima lebih banyak berdiam diri. Ia seperti merasa bersalah dan tertekan karena tanggung jawabnya sebagai Presiden perusahaan. Hal itu disampaikan oleh wakilnya di JR Hokkaido, Hirohiko Kakinuma.
Menurut buku manual perkeretaapian Hokkaido, penumpang perlu dievakuasi apabila terdapat api. Namun karena masinis tidak melihat adanya api, penumpang belum dievakuasi. Pintu gerbongpun belum dibuka. Meski kemudian penumpang dievakuasi, langkah tersebut dinilai terlambat karena mengakibatkan sekitar 35 orang mengalami luka ringan dan sesak nafas akibat menghirup asap. Tidak ada korban meninggal dalam tragedi tersebut.
Kementerian Transportasi Jepang langsung mengadakan penyelidikan dan meminta JR Hokkaido untuk menyampaikan laporan penyebab kecelakaan, termasuk meninjau ulang buku manual kecelakaan kereta dari JR Hokkaido. Penyelidikan yang intensif tersebut ditengarai juga menambah tekanan bagi Nakajima sebagai presiden.
Dalam surat bunuh diri yang ditujukan kepada karyawannya, Nakajima menulis,
“Saya sungguh menyesalkan terjadinya kecelakaan kereta api tersebut dan memohon maaf sebesar-besarnya. Sebagai pegawai perusahaan kereta api, kita dipercaya untuk menjaga keselamatan para penumpang. Tugas itu harus kita letakkan di atas segalanya. Saya ingin kalian sebagai pegawai untuk selalu memikirkan keselamatan para penumpang. Saya ucapkan terima kasih pada kalian semua atas segala dukungan selama ini.”
Kasus bunuh diri, ataupun mundur dari jabatan pejabat publik adalah suatu hal yang lumrah di Jepang. Hal ini dilandasi oleh budaya panjang negeri mereka. Salah satu kode etik samurai misalnya, mengatakan bahwa “Hinkaku no Chikara”, atau pentingnya kemampuan menjaga harga diri.
Semakin tinggi jabatan seseorang, “hinkaku” atau harga diri, semakin penting. Apabila seseorang bersalah atau bertanggung jawab atas kesalahan publik, mereka tak segan untuk mundur, ataupun ekstrimnya, melakukan bunuh diri, seperti yang dilakukan Nakajima.
Lain negara tentu lain budayanya. Mudah-mudahan apa yang terjadi di Jepang bisa menjadi pelajaran, dan kita mengambil hikmahnya.
Salam dari Tokyo.
Sangat aneh jika dibandingkan dengan para pemimpin Indonesia. Yang selalu diguncang dengan berbagai bencana serta kecelakaan tapi penangannya selalu mendapat raport merah, tapi tetap dengan PD duduk di kursi kepemimpinannya.
Teladan Keempat : Mengundurkan Diri Karena Mati Lampu
Menteri di Korea Selatan yang bertanggung jawab atas layanan energi, Choi Joong-kyung, hari ini mengajukan pengunduran diri kepada Presiden Lee Myung-bak. Pasalnya, Choi merasa malu atas kasus mati lampu massal yang sempat meresahkan sebagian rakyat di negeri ginseng itu.
Menurut harian The Wall Street Journal, pengunduran diri itu diungkapkan juru bicara kementerian ekonomi pengetahuan, Park Chung-won. Seorang pejabat di istana kepresidenan menyatakan bahwa Presiden Lee kemungkinan menerima pengunduran diri Choi sebagai Menteri Ekonomi Pengetahuan, yang salah satu tugasnya mengurus masalah listrik.
"Menteri Choi mengajukan pengunduran diri hari ini dan berencana menyerahkan surat mundur secara resmi kepada kepala staf kepresidenan hari ini juga," kata Park, seperti dikutip kantor berita Yonhap.
Pengunduran diri itu dilontarkan Choi setelah Korsel mengalami pemadaman listrik pada 15 September lalu. Ini merupakan peristiwa yang tidak biasa di Korsel, yang selama ini menyediakan layanan listrik yang memuaskan. Ketika padam, saat itu banyak rumah, kantor, dan pabrik gelap gulita.
Pelaku industri menderita gangguan produksi. Banyak orang terjebak di elevator. Lalu-lintas pun kacau karena lampu merah padam. Tidak ada laporan cedera akibat listrik byar pet itu.
Padamnya aliran listrik mempengaruhi lebih dari dua juta rumah tangga selama kurun antara satu hingga lima jam. Pihak berwenang sempat menyatakan pemadaman terjadi akibat cuaca panas sehingga kebutuhan akan listrik melonjak. Namun besarnya kebutuhan itu tidak dapat dipenuhi oleh 25 pembangkit listrik karena pada saat yang bersamaan mengalami perawatan.
Presiden Lee akhirnya menggelar rapat khusus dengan pihak terkait untuk membahas padamnya listrik di Korsel dan mereka segera melakukan investigasi. Sebagai pertanggungjawaban, pemerintah menerima gugatan ganti rugi dari individu maupun pengusaha.
Menurut The Korea Herald, rakyat yang merasa dirugikan bisa mengajukan klaim ganti rugi hingga Selasa pekan depan. Hingga awal pekan ini, pemerintah sudah menerima lebih dari 3.000 klaim dengan nilai total tuntutan sebesar 17 miliar won, atau sekitar Rp129,4 miliar.
Haha... ini lebih unik lagi kan. Seorang menteri dengan suka rela mengundurkan diri dari jabatannya hanya karena terjadi satu kali mati lampu massal. Kalau di Indonesia mati lampu sudah menjadi langganan bahkan di jadwal. Lah kok, menterinya masih aja tersenyum manis saat menerima gaji bulanan.
Posting Komentar